Menurut peneliti dari Pittsburgh School of Medicine, seseorang belum menjadi dewasa sampai menginjak 25 tahun. Penelitian lain dari University of New Hampshire disebutkan memori kehidupan terbaik terjadi pada usia 25 tahun. Hm... Usia-usia dewasa muda. Ada juga penelitian lainnya yang menunjukkan bahwa usia yang tepat untuk menikah sekitar 25 tahun, dengan pertimbangan telah selesai kuliah, karir mapan dan telah hidup terpisah dari orang tua.
Menarik.
Rentang usia dewasa muda memang terasa menarik. Mencari jati diri, passion, menjalani hobi, mencari teman, pasangan, sekolah, kuliah, hingga berkarir. Ada masa up and down. Berhasil di satu hal, gagal di hal lain. C'est la vie.
Menurutku, dalam proses meraih kesuksesan, ngeluh boleh, nyerah jangan. Tujuan bisa berubah, definisi sukses tiap orang bisa berubah, tapi progress menuju yang lebih baik tetap jalan. Hingga nanti waktu tua, kita punya kenangan saat menginjak usia dewasa muda yang bisa jadi pelajaran untuk generasi berikutnya, baik buruknya.
Baiklah, cukup untuk saat ini. I'm enjoying my time, caught in between 20 and 30. :)
Selasa, 23 Juni 2015
Minggu, 07 Juni 2015
Happy Wedding, Na!
You have changed
a lot
better
Now, in this day, you have your gift: a new family.
Congratulation, Nana.
I wish you have a blessed and happy family now and then, sakinah, mawaddah wa rohmah. :)
Go build your castle of dreams with your husband Farid and future kids.
Happy wedding!
a lot
better
Now, in this day, you have your gift: a new family.
Congratulation, Nana.
I wish you have a blessed and happy family now and then, sakinah, mawaddah wa rohmah. :)
Go build your castle of dreams with your husband Farid and future kids.
Happy wedding!
Rabu, 03 Juni 2015
Enam Tahun
Hari ini sudah enam tahun
Hujan Bulan Juni di hari ini selalu membuatku emosional,
sendu
Terasa waktu berlalu cepat sejak kau pergi
Kita tidak pernah sempat untuk mengucapkan selamat tinggal
Rasanya ini bukan akhir pertemuan
Serasa jeda yang panjang,
sampai nanti setelah hari akhir
Sempat kau terbawa mimpi
Kita berbincang melalui telepon
Rindu, senang, terasa lama tak bertemu
Tidak seperti terakhir dulu
Aku dulu belum sebaik harapanmu
Mungkin sekarang lebih baik,
Entah apakah sesuai harapanmu
Aku akan tetap berusaha
Hari ini sudah enam tahun
Aku sebentar lagi akan pulang untuk berkunjung
Hari ini sudah enam tahun
Minggu, 24 Mei 2015
Stasiun Nambo, Ujung Rute KRL Lainnya di Bogor
"Stasiun Nambo itu setelah tol atau sebelum tol, pak?"
"Setelah tol, mas, masih lurus." Jawab petugas stasiun.
Menarik. Selama ini aku baru pernah sampai tol Bogor-Jakarta, belum pernah lebih dari itu.
Satu setengah bulan sejak jalur Nambo - Duri diaktifkan lagi, aku baru sempat pergi ke stasiun itu. Setelah ada kegiatan di Depok, aku sempatkan pergi ke sana, naik kereta Duri - Nambo sekitar jam 3 sore. Perjalanan hanya butuh sekitar 35 menit.
Dari perkotaan,
lalu perumahan,
lanjut ke perkampungan,
sedikit sawah di kiri dan kanan,
kemudian berujung pada perbukitan yang kering.
Ternyata, stasiun Nambo dekat dengan pabrik Indocement, bahkan bangunan tempat loading
semen ke kereta api barang hampir bersebelahan dengan stasiun Nambo.
Lingkungannya pun masih asri, banyak pohon besar di sekitar stasiun.
Tampak rindang, sedikit kontras dengan lingkungan pabrik di sekitarnya.
Fasilitasnya cukup memadai, meskipun kecil. Lahan parkir luas (tapi kelihatannya belum ada layanan parkir). Ada tiga gate untuk keluar masuk penumpang. Toilet pun tersedia dan bersih. Cukup memadai untuk melayani penumpang yang belum banyak jumlahnya.
Apakah stasiun ini menjadi ujung rel kereta api? Kelihatannya tidak. Menurut sumber di internet, jalur ini direncanakan dari Parung Panjang sampai Cikarang, namun terhenti karena krisis ekonomi tahun 1998. Mungkin (dan semoga) jalur kereta rel listrik (krl) dapat diperpanjang hingga ke sana, dan dibangun double track.
"Setelah tol, mas, masih lurus." Jawab petugas stasiun.
Menarik. Selama ini aku baru pernah sampai tol Bogor-Jakarta, belum pernah lebih dari itu.
Satu setengah bulan sejak jalur Nambo - Duri diaktifkan lagi, aku baru sempat pergi ke stasiun itu. Setelah ada kegiatan di Depok, aku sempatkan pergi ke sana, naik kereta Duri - Nambo sekitar jam 3 sore. Perjalanan hanya butuh sekitar 35 menit.
Dari perkotaan,
lalu perumahan,
lanjut ke perkampungan,
sedikit sawah di kiri dan kanan,
kemudian berujung pada perbukitan yang kering.
Fasilitasnya cukup memadai, meskipun kecil. Lahan parkir luas (tapi kelihatannya belum ada layanan parkir). Ada tiga gate untuk keluar masuk penumpang. Toilet pun tersedia dan bersih. Cukup memadai untuk melayani penumpang yang belum banyak jumlahnya.
Apakah stasiun ini menjadi ujung rel kereta api? Kelihatannya tidak. Menurut sumber di internet, jalur ini direncanakan dari Parung Panjang sampai Cikarang, namun terhenti karena krisis ekonomi tahun 1998. Mungkin (dan semoga) jalur kereta rel listrik (krl) dapat diperpanjang hingga ke sana, dan dibangun double track.
Senin, 27 April 2015
Stasiun Cibinong Beroperasi Lagi
Ya, Cibinong punya stasiun. Berlokasi di dekat pasar Cibinong, masuk daerah Pabuaran. Stasiun ini termasuk dalam perjalanan Stasiun Nambo - Stasiun Duri PP, bertemu dengan jalur rel Bogor-Jakarta di Stasiun Citayam.
Dulu, ada KRD Tanah Abang - Nambo yang beroperasi dan berhenti di Stasiun Cibinong. Menurut berbagai sumber berita, KRD ini beroperasi dari tahun 2002 hingga 2007 (atau 2008?). Kereta ini berhenti beroperasi karena kondisi kereta udah tua dan nggak tersedia suku cadang. Sehingga jalur ini digunakan untuk angkutan barang saja. Sampai kemudian dibuka layanan perjalanan commuter line Tanah Abang - Nambo per 1 April 2015.
Perjalanan Nambo - Duri ini cuma dilayani oleh satu rangkaian kereta rel listrik. Satu. Rasanya konyol bahwa cuma ada satu rangkaian kereta yang melayani jalur ini selama sehari, tapi tetap harus ada realisasi awal. Jalur masih single track, area stasiun belum steril, dan belum ada fasilitas parkir (lahan sih luas, tapi belum ada layanan parkir).
Gimana dengan layanan perjalanannya? Awal bulan April kemarin sempat mencoba naik krl dari situ. Saat di stasiun aku sempat mendengar percakapan orang bahwa kereta berangkat ke Duri dari stasiun Cibinong jam setengah enam pagi. Jadwalnya jam 5:31. Berarti keberangkatan pertama tepat waktu. Jadwal berikutnya jam 9:04. Aku datang hampir jam 9, dan keretanya datang sekitar jam 9 lebih 15. Oke, lumayan. Sayangnya perjalanan Duri-Nambo telat banget. Sore itu aku mau naik kereta itu lagi. Aku menunggu kereta itu di Stasiun Pondok Cinta dari jam 3 sore, dan keretanya baru sampai jam 4 lebih.
Pertengahan bulan April ini aku sempat mencoba naik kereta lagi dari Stasiun Pondok Cina menuju Stasiun Cibinong. Kereta datang terlambat sekitar 15 menit. Sore harinya aku coba naik kereta ini lagi dari stasiun Pocin, terlambat sekitar 10 menit. Okelah, menuju ke tepat waktu.
Beberapa hari kemudian, aku coba naik lagi dengan jadwal berangkat dari Cibinong jam 9:04. Aku sampai stasiun jam 9:07. Aku pikir masih sempat, karena kereta ini biasanya masih telat dari jadwal seperti pengalaman sebelumnya. Ternyata tepat waktu. Seminggu kemudian aku coba naik kereta dari stasiun ini lagi, dan datangnya tepat waktu. Keretanya sempat berhenti agak 1-2 menit, memberi kesempatan buat penumpang yang masih belum masuk peron.
Melihat pengalaman beberapa kali naik kereta dari sini, layanan commuter line udah cukup sesuai jadwal. Bisa diandalkan bagi yang mau bepergian naik krl pas sekitar jam keberangkatan krlnya. Harapanku setahun ini pelaksanaan layanan jalur ini bagus, tepat waktu. Dan untuk tahun depan semoga jadwal perjalanannya minimal 1 jam sekali, mulai dibangun double track, area stasiun steril dan ada fasilitas parkir.
Dulu, ada KRD Tanah Abang - Nambo yang beroperasi dan berhenti di Stasiun Cibinong. Menurut berbagai sumber berita, KRD ini beroperasi dari tahun 2002 hingga 2007 (atau 2008?). Kereta ini berhenti beroperasi karena kondisi kereta udah tua dan nggak tersedia suku cadang. Sehingga jalur ini digunakan untuk angkutan barang saja. Sampai kemudian dibuka layanan perjalanan commuter line Tanah Abang - Nambo per 1 April 2015.
Perjalanan Nambo - Duri ini cuma dilayani oleh satu rangkaian kereta rel listrik. Satu. Rasanya konyol bahwa cuma ada satu rangkaian kereta yang melayani jalur ini selama sehari, tapi tetap harus ada realisasi awal. Jalur masih single track, area stasiun belum steril, dan belum ada fasilitas parkir (lahan sih luas, tapi belum ada layanan parkir).
Gimana dengan layanan perjalanannya? Awal bulan April kemarin sempat mencoba naik krl dari situ. Saat di stasiun aku sempat mendengar percakapan orang bahwa kereta berangkat ke Duri dari stasiun Cibinong jam setengah enam pagi. Jadwalnya jam 5:31. Berarti keberangkatan pertama tepat waktu. Jadwal berikutnya jam 9:04. Aku datang hampir jam 9, dan keretanya datang sekitar jam 9 lebih 15. Oke, lumayan. Sayangnya perjalanan Duri-Nambo telat banget. Sore itu aku mau naik kereta itu lagi. Aku menunggu kereta itu di Stasiun Pondok Cinta dari jam 3 sore, dan keretanya baru sampai jam 4 lebih.
Pertengahan bulan April ini aku sempat mencoba naik kereta lagi dari Stasiun Pondok Cina menuju Stasiun Cibinong. Kereta datang terlambat sekitar 15 menit. Sore harinya aku coba naik kereta ini lagi dari stasiun Pocin, terlambat sekitar 10 menit. Okelah, menuju ke tepat waktu.
Beberapa hari kemudian, aku coba naik lagi dengan jadwal berangkat dari Cibinong jam 9:04. Aku sampai stasiun jam 9:07. Aku pikir masih sempat, karena kereta ini biasanya masih telat dari jadwal seperti pengalaman sebelumnya. Ternyata tepat waktu. Seminggu kemudian aku coba naik kereta dari stasiun ini lagi, dan datangnya tepat waktu. Keretanya sempat berhenti agak 1-2 menit, memberi kesempatan buat penumpang yang masih belum masuk peron.
Melihat pengalaman beberapa kali naik kereta dari sini, layanan commuter line udah cukup sesuai jadwal. Bisa diandalkan bagi yang mau bepergian naik krl pas sekitar jam keberangkatan krlnya. Harapanku setahun ini pelaksanaan layanan jalur ini bagus, tepat waktu. Dan untuk tahun depan semoga jadwal perjalanannya minimal 1 jam sekali, mulai dibangun double track, area stasiun steril dan ada fasilitas parkir.
Kamis, 23 April 2015
Diari Fotografi IV: Iqro'
Iqro'.
Bacalah.
Kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Wahyu pertama ini tercantum dalam surat Al Alaq, di dalam kitab suci umat Islam: Alquran.
Dulu saat aku kecil, hal yang biasa melihat orang membaca Alquran di mushola, di masjid, atau di rumah setelah salat lima waktu ataupun salat sunah, juga saat pengajian. Biasanya di mushola / masjid terdapat Quran yang disediakan, membantu yang tidak membawa Quran untuk tetap bisa membacanya.
Beberapa tahun belakangan ini, Alquran sudah umum dibaca di mana saja, seperti di stasiun saat menunggu kereta, di taman sambil rekreasi, dan saat sedang diperjalanan naik bus, kereta, kapal laut, ataupun pesawat terbang. Termasuk suatu waktu di tahun 2012, aku sedang dalam perjalanan menaiki kereta api jarak jauh (Kelihatannya Senja Kediri, kereta kelas bisnis yang kemudian menjadi kelas ekonomi ac bernama Majapahit). Penumpang di depanku sedang fokus membaca Quran. Saat itu belum banyak yang membaca Qur'an di tempat umum seperti saat ini. Mungkin saat itu pengguna smartphone belum sebanyak sekarang, jadi kebanyakan masih membaca Quran cetak.
Membaca Al-Qur'an makin mudah dengan adanya kemajuan teknologi. Muncul aplikasi Al-qur'an digital untuk sistem operasi smartphone, selain cetakan Alquran ukuran kecil dan ringkas yang bisa didapat dengan mudah di toko buku. Kini umat islam bisa membaca Qur'an di mana-mana dengan mudah. Kalau bepergian, bisa membawa Al-qur'an kecil. Punya smartphone? Tinggal unduh aplikasinya.
Bacalah.
Kata pertama dari wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Wahyu pertama ini tercantum dalam surat Al Alaq, di dalam kitab suci umat Islam: Alquran.
Dulu saat aku kecil, hal yang biasa melihat orang membaca Alquran di mushola, di masjid, atau di rumah setelah salat lima waktu ataupun salat sunah, juga saat pengajian. Biasanya di mushola / masjid terdapat Quran yang disediakan, membantu yang tidak membawa Quran untuk tetap bisa membacanya.
Beberapa tahun belakangan ini, Alquran sudah umum dibaca di mana saja, seperti di stasiun saat menunggu kereta, di taman sambil rekreasi, dan saat sedang diperjalanan naik bus, kereta, kapal laut, ataupun pesawat terbang. Termasuk suatu waktu di tahun 2012, aku sedang dalam perjalanan menaiki kereta api jarak jauh (Kelihatannya Senja Kediri, kereta kelas bisnis yang kemudian menjadi kelas ekonomi ac bernama Majapahit). Penumpang di depanku sedang fokus membaca Quran. Saat itu belum banyak yang membaca Qur'an di tempat umum seperti saat ini. Mungkin saat itu pengguna smartphone belum sebanyak sekarang, jadi kebanyakan masih membaca Quran cetak.
Membaca Al-Qur'an makin mudah dengan adanya kemajuan teknologi. Muncul aplikasi Al-qur'an digital untuk sistem operasi smartphone, selain cetakan Alquran ukuran kecil dan ringkas yang bisa didapat dengan mudah di toko buku. Kini umat islam bisa membaca Qur'an di mana-mana dengan mudah. Kalau bepergian, bisa membawa Al-qur'an kecil. Punya smartphone? Tinggal unduh aplikasinya.
Rabu, 22 April 2015
Diari Fotografi III: Konjungsi & Segi Tiga Benda Langit
Suatu pagi, beberapa menit sebelum mencapai Tegal Alun, Gunung Papandayan. Semburat cahaya keemasan muncul di ufuk Timur. Langit cerah. Tidak ada awan, setidaknya di ketinggian +- 2500 meter di atas permukaan laut ini. Kepulan asap dari kawah-kawah aktif membumbung ke angkasa. Ya, gunung ini aktif. Dulu ketinggiannya lebih dari 3000 mdpl. Sekarang, setelah mengalami erupsi beberapa kali, ketinggian puncaknya adalah 2665 mdpl.
Kembali ke pagi itu, saat di tanjakan yang cukup curam. Pemandangan ke arah Timur terbentang luas. Ada fenomena astronomi pagi itu yaitu konjungsi. Konjungsi antara Jupiter dan Venus. Bulan tampak berada dekat dua planet itu, membentuk sebuah segi tiga apabila ditarik garis imajiner.
Apa itu konjungsi?
Berhubung aku awam di bidang astronomi, googling aja pengertian dan berita fenomena tersebut di bulan Agustus 2014. Khawatir nggak akurat menjelaskannya. :D
Berhubung sedang berada di tempat yang tinggi dan bebas dari polusi cahaya, fenomena ini tampak jelas dengan mata telanjang. Nggak ada tempat datar untuk menaruh tripod, artinya nggak bisa memotret fenomena itu dengan eksposur lama. Opsinya, memotret secara lanskap dengan lensa lebar, ISO tinggi dan kecepatan rana secepat mungkin. Well, praktiknya cuma secepat 1/6 detik. :D
Kembali ke pagi itu, saat di tanjakan yang cukup curam. Pemandangan ke arah Timur terbentang luas. Ada fenomena astronomi pagi itu yaitu konjungsi. Konjungsi antara Jupiter dan Venus. Bulan tampak berada dekat dua planet itu, membentuk sebuah segi tiga apabila ditarik garis imajiner.
Apa itu konjungsi?
Berhubung aku awam di bidang astronomi, googling aja pengertian dan berita fenomena tersebut di bulan Agustus 2014. Khawatir nggak akurat menjelaskannya. :D
Berhubung sedang berada di tempat yang tinggi dan bebas dari polusi cahaya, fenomena ini tampak jelas dengan mata telanjang. Nggak ada tempat datar untuk menaruh tripod, artinya nggak bisa memotret fenomena itu dengan eksposur lama. Opsinya, memotret secara lanskap dengan lensa lebar, ISO tinggi dan kecepatan rana secepat mungkin. Well, praktiknya cuma secepat 1/6 detik. :D
Selasa, 21 April 2015
Diari Fotografi II: Perpustakaan UI
Aku pernah memasuki perpustakaan UI. Oke, sebagian besar mahasiswa pernah. Tapi siapa yang pernah memasuki perpustakaan UI saat masih berupa rangka struktur bangunan? Yep, aku pernah. Saat itu dalam rangka mengikuti lomba fotografi tentang konstruksi. Untuk masuk ke situ harus minta izin ke Direktorat Umum dan Fasilitas. Kalau ada yang tahu struktur garis bangunan yang melengkung dari bawah ke atas, aku dulu pernah naik sampai situ.
Suatu sore di bulan Mei 2011, aku masih berada di kantor. Saat itu aku menjadi kontributor berita untuk majalah di kantor. Aku dengar bahwa nanti akan ada pemotretan gedung PAU dan perpustakaan. Karena sedang di dalam gedung, aku nggak terpikir akan seperti apa ketika gedung PAU dan perpustakaan menyala lampunya. Setelah langit mulai gelap, aku pulang melewati samping balairung. Aku baru menyadari bahwa aku melewati kesempatan memotret ikon baru UI di saat blue hour (saat matahari baru tenggelam dan langit berwarna biru). Tapi kondisi pencahayaan masih bagus, lampu-lampu bangunan masih menyala.
Aku buru-buru menuju kos, ambil kamera, tripod, kemudian kembali ke kampus. Aku ambil lokasi di pinggir sisi Timur Situ Kenanga - di lokasi yang sekarang ada bangunan mangkrak, belum selesai dibangun. Pencahayaan lampu-lampu masih sama. Meski sudah lewat momen senja, tapi sebagai gantinya langit malam yang cerah dengan sedikit awan yang terhembus angin sepoi. Aku pasang tripod, menentukan eksposur, mengatur timer. Klik.
Sama dengan yang di jembatan TekSas, aku nggak pernah mendapat pencahayaan seperti ini lagi. Lampu-lampu gedung itu nggak akan dinyalakan sepenuhnya, kecuali ada kepentingan khusus seperti saat akan dilakukan pemotretan ini. Terakhir kali aku lewat sini saat malam hari, beberapa lampu jalan nggak menyala. Syukurlah dulu sempat memotret.
Suatu sore di bulan Mei 2011, aku masih berada di kantor. Saat itu aku menjadi kontributor berita untuk majalah di kantor. Aku dengar bahwa nanti akan ada pemotretan gedung PAU dan perpustakaan. Karena sedang di dalam gedung, aku nggak terpikir akan seperti apa ketika gedung PAU dan perpustakaan menyala lampunya. Setelah langit mulai gelap, aku pulang melewati samping balairung. Aku baru menyadari bahwa aku melewati kesempatan memotret ikon baru UI di saat blue hour (saat matahari baru tenggelam dan langit berwarna biru). Tapi kondisi pencahayaan masih bagus, lampu-lampu bangunan masih menyala.
Aku buru-buru menuju kos, ambil kamera, tripod, kemudian kembali ke kampus. Aku ambil lokasi di pinggir sisi Timur Situ Kenanga - di lokasi yang sekarang ada bangunan mangkrak, belum selesai dibangun. Pencahayaan lampu-lampu masih sama. Meski sudah lewat momen senja, tapi sebagai gantinya langit malam yang cerah dengan sedikit awan yang terhembus angin sepoi. Aku pasang tripod, menentukan eksposur, mengatur timer. Klik.
Sama dengan yang di jembatan TekSas, aku nggak pernah mendapat pencahayaan seperti ini lagi. Lampu-lampu gedung itu nggak akan dinyalakan sepenuhnya, kecuali ada kepentingan khusus seperti saat akan dilakukan pemotretan ini. Terakhir kali aku lewat sini saat malam hari, beberapa lampu jalan nggak menyala. Syukurlah dulu sempat memotret.
Senin, 20 April 2015
Diari Fotografi I: Jembatan TekSas
Momen, satu dari empat elemen fotografi, dalam KBBI memiliki pengertian waktu yang pendek, atau saat. Ada yang bilang, orang tidak ingat tanggal, orang ingat momen. Begitulah adanya, aku kadang ingat kejadian tapi nggak ingat kapan hari dan tanggalnya. Fotografi digital membantu orang mengingat momen, karena selain menjadi bukti visual suatu peristiwa, juga ada catatan teknis dalam file foto (dari jam, tanggal, sampai kamera apa, lensa apa, jenis metering apa).
Pepatah mengatakan, kesempatan tidak datang dua kali. Ada benarnya, kecuali bahwa masa depan masih misteri, mungkin saja kesempatan datang dua kali, tiga kali, berkali-kali, atau sekalipun tidak. Seperti saat aku ingin memotret jembatan TekSas, salah satu ikon kampus UI. Jembatan ini diresmikan tahun 2007, menghubungkan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Teknik. Ciri khasnya adalah bentuk lingga di ujung jembatan dan yoni di ujung jembatan satunya.
Berkali-kali aku memotret jembatan itu, sejak awal kuliah hingga beberapa tahun berikutnya, dari sekadar pakai hp hingga kamera dslr. Ada satu saat di mana aku berkesempatan memotretnya di malam hari. Saat itu menjelang tengah malam, aku sengaja membawa kamera dslr dan tripod. Saat itu suasana sepi, angin semilir, dingin. Lampu penerang jembatan menyala dari kedua sisi tepian, menerangi struktur jembatan yang berwarna kuning, merah dan biru, menimbulkan kesan hangat. Nggak ada coretan vandalisme yang terlihat. Situ di bawahnya tampak dangkal, namun bersih. Ada orang menjaring ikan di bawah jembatan. Aku memasang tripod di sisi Fakultas Ekonomi (sebelah Fakultas Teknik), mengatur eksposur yang menurutku tepat, menentukan angle dan komposisi, dan menunggu orang yang menjaring ikan nggak kelihatan dalam frame. Klik.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa kali aku kemari, dengan kamera yang punya kualitas gambar lebih bagus, lensa yang lebih lebar, pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, aku nggak pernah dapet kualitas seperti ini lagi.
Vandalisme, lampu mati, sampah. Sayang sekali.
Mungkin kesempatan itu tidak akan terulang, atau setidaknya hingga saat ini. Semoga ikon kampus ini bisa dirawat lebih baik. Sayang kalau sekadar menjadi jalan penghubung antar fakultas.
Pepatah mengatakan, kesempatan tidak datang dua kali. Ada benarnya, kecuali bahwa masa depan masih misteri, mungkin saja kesempatan datang dua kali, tiga kali, berkali-kali, atau sekalipun tidak. Seperti saat aku ingin memotret jembatan TekSas, salah satu ikon kampus UI. Jembatan ini diresmikan tahun 2007, menghubungkan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Teknik. Ciri khasnya adalah bentuk lingga di ujung jembatan dan yoni di ujung jembatan satunya.
Berkali-kali aku memotret jembatan itu, sejak awal kuliah hingga beberapa tahun berikutnya, dari sekadar pakai hp hingga kamera dslr. Ada satu saat di mana aku berkesempatan memotretnya di malam hari. Saat itu menjelang tengah malam, aku sengaja membawa kamera dslr dan tripod. Saat itu suasana sepi, angin semilir, dingin. Lampu penerang jembatan menyala dari kedua sisi tepian, menerangi struktur jembatan yang berwarna kuning, merah dan biru, menimbulkan kesan hangat. Nggak ada coretan vandalisme yang terlihat. Situ di bawahnya tampak dangkal, namun bersih. Ada orang menjaring ikan di bawah jembatan. Aku memasang tripod di sisi Fakultas Ekonomi (sebelah Fakultas Teknik), mengatur eksposur yang menurutku tepat, menentukan angle dan komposisi, dan menunggu orang yang menjaring ikan nggak kelihatan dalam frame. Klik.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa kali aku kemari, dengan kamera yang punya kualitas gambar lebih bagus, lensa yang lebih lebar, pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak, aku nggak pernah dapet kualitas seperti ini lagi.
Vandalisme, lampu mati, sampah. Sayang sekali.
Mungkin kesempatan itu tidak akan terulang, atau setidaknya hingga saat ini. Semoga ikon kampus ini bisa dirawat lebih baik. Sayang kalau sekadar menjadi jalan penghubung antar fakultas.
Senin, 13 April 2015
Pindah Akun
Halo
Foto-foto yang ada di blog ini, sebelum postingan ini mungkin akan
hilang. Untuk kemudahan pengelolaan blog, aku pindah pengelolaannya ke akun
baru. Konsekuensinya, foto-foto yang diunggah oleh akun lama akan hilang –
kelihatannya berhubungan dengan akun yang mengelola foto-foto di blog, dan
pengelolaannya nggak bisa dipindahkan.
Aku usahakan untuk menunggah kembali foto-foto yang hilang.
Tapi yang lebih penting, blog ini ingin aku isi lagi secara berkala. Twitter
untuk hal-hal yang singkat, facebook lebih fokus untuk berbagi foto dan
komunikasi dengan teman, saudara dan kenalan. Nah, blog ini untuk tulisan yang
lebih panjang, dari sekadar catatan perjalanan / peristiwa, ide / pikiran,
mungkin cerita – atau bentuk karya tulisan lainnya, barangkali ada inspirasi
dan nggak malas menulis :p - ataupun berbagi pengalaman dan / atau pengetahuan.
Blog lebih leluasa untuk dibaca orang, tanpa terhubung lebih dulu dengan akun
mereka. Sedangkan media sosial, lebih cocok digunakan untuk berhubungan dengan
mereka yang mengenalku dan aku kenal.
So, enjoy.
Langganan:
Postingan (Atom)